SOP PENERIMAAN LAPORAN

  1. Pelaporan Kekerasan Seksual dilakukan oleh korban dan/atau saksi pelapor.
  2. Pelaporan Kekerasan Seksual disini
  • Isi seluruh biodata dan permasalahan yang dialami.
  • Silahkan menguraikan hal-hal berikut (kebutuhan utama korban saat ini dan layanan yang ingin diakses). Layanan yang dapat diakses antara lain sebagai berikut:
    1. Layanan Konseling dan Konsultasi Psikolog maupun Psikiater. Bentuk layanan yang diberikan bisa berupa layanan psikologis baik berupa konseling maupun psikoterapi, dalam rangka pemulihan psikis. Pada korban disabilitas tertentu membutuhkan penguatan dari psikolog dan juga psikiater, untuk menguatkan situasi yang dialami dan mendukung keterangan yang dibuatnya. Penguatan dari psikolog dan psikiater juga diberikan kepada korban yang tidak mengalami disabilitas yang mengalami kendala.
    2. Layanan Bantuan dan Pendampingan Hukum. Layanan bantuan hukum yang mencakup penyediaan informasi menyangkut proses hukum, konsultasi hukum dan pendampingan hukum termasuk pendampingan saat proses peradilan oleh konsultan hukum Pusat Konseling Pencegahan Kekerasan Seksual dan Perundungan.
    3. Layanan Reintegrasi Sosial. Memberikan layanan agar korban dapat diterima kembali oleh lingkungan sosialnya, baik di dalam maupun di luar kampus. Layanan ini termasuk mencegah stigma pada korban, dan pemulihan nama baik.
    4. Layanan Konseling Lanjutan. Konseling lanjutan ini dimaksudkan untuk mendukung korban agar dapat mencapai kesadaran atas haknya dan membantu korban mengambil keputusan atas kasusnya. Konseling ini juga diperlukan ketika korban membutukan bantuan dari konselor profesional.
  1. Penerimaan laporan dilakukan pada setiap pengaduan yang berasal dari korban atau saksi pelapor.
  2. Laporan kasus kekerasan seksual yang diterima idealnya ditindaklanjuti dalam waktu setidaknya 3×24 jam oleh konselor. Tahap awal yang akan dilakukan adalah dokumentasi dan verifikasi, dimana konselor berkewajiban membuat laporan terverifikasi yang berisi beberapa komponen berikut:
    1. Indentifikasi korban atau saksi pelapor;
    2. Penyusunan kronologi kekerasan seksual;
    3. Pemeriksaan dokumen/bukti yang disampaikan pelapor;
    4. Informasi mengenai saksi atau informasi lain yang relevan terkait kasus yang terjadi, seperti dokumentasi fiisk baik yang tertulis maupun terekam, maupun dokumen elektronik atau digital.
    5. Inventarisasi kebutuhan korban dan/atau saksi pelapor; dan
    6. Pemberian informasi mengenai hak korban atau saksi pelapor, mekanisme penanganan kekerasan seksual, kemungkinan resiko yang akan dihadapi dan rencana mitigasi terhadap resiko tersebut.

SOP PEMERIKSAAN/VERIFIKASI

  1. Satuan Tugas melakukan pemeriksaan atas laporan kekerasan seksual.
  2. Pemeriksaan bertujuan untuk mengumpulkan keterangan dan/atau dokumen yang terkait dengan laporan kekerasan seksual. Satuan Tugas melakukan kontak, membangun kepercayaan, termasuk menenangkan korban yang terindikasi terlibat dalam tindak kekerasan seksual untuk menyampaikan permasalahan yang dialami.
  3. Tahap dokumentasi dan verifikasi kasus harus dilakukan oleh seorang konselor atau konsultan hukum mengingat keterlibatan korban yang cukup intens selama proses ini berlangsung. Selain itu, pada tahap inilah, konselor juga diharuskan untuk melakukan assessment awalnya terhadap kondisi korban guna menentukan layanan darurat dan/atau pendampingan seperti apa yang nantinya akan dibutuhkan.
  4. Proses dokumentasi dan verifikasi kasus, serta assessment awal terhadap kondisi korban harus dituangkan dalam laporan tertulis. Satuan Tugas tidak boleh mengambil foto, merekam suara, maupun video tanpa seizin korban.
  5. Selanjutnya, laporan dokumentasi kasus yang sudah terverifikasi beserta hasil assessment awal terhadap kondisi korban akan didiskusikan dalam sebuah rapat terbatas. Laporan tersebut akan dijadikan sebagai basis pertimbangan dalam menentukan langkah-langkah tindak lanjut apa yang ingin diambil oleh korban,termasuk apa alternatif-alternatif penyelesaian kasusnya, bagaimana prosedur yang harus dilalui untuk mencapai penyelesaian yang diinginkan, apa konsekuensi- konsekuensi yang mungkin muncul bagi korban, serta apa pendampingan yang dibutuhkan.
  6. Laporan yang dihasilkan bersifat rahasia dan hanya boleh beredar dengan seizin korban dikalangan terbatas yang berkepentingan atas penyelesaian kasus.
  7. Pemeriksaan dilakukan terhadap korban, saksi, dan/atau terlapor.
  8. Pemeriksaan dilakukan secara tertutup.
  9. Pemeriksaan harus diselesaikan paling lama 30 hari kerja.
  10. Hasil dituangkan dalam berita acara pemeriksaan.
  11. Pada tahap pemeriksaan, maka syarat-syarat yang dibutuhkan adalah:
    1. Formulir penerimaan laporan;
    2. Surat tugas dari pimpinan untuk melakukan identifikasi fakta tindaakan kekerasan;
    3. Formulir penanganan awal;
    4. Surat pemanggilan. Dalam surat ini tidak diperkenankan untuk menuliskan informasi indikasi tindak kekerasan yang dialami korban. Termasuk dugaan sebagai korban atau pelaku.
    5. Surat permohonan rujukan.

SOP PENNYUSUNAN KESIMPULAN DAN REKOMENDASI UNTUK PENANGANAN DAN TINDAK LANJUT

Tahap selanjutnya dalam upaya satuan pendidikan dalam menanggulangi tindak kekerasann yakni menindaklanjuti kasus secara proporsional.

Kesimpulan dan tindak lanjut memuat hal-hal berikut:

  1. Kesimpulan memuat pernyataan terbukti atau tidak terbukti adanya kekerasan seksual.
  2. Dalam hal terbukti adanya kekerasan seksual, kesimpulan paling sedikit memuat uraian:
    1. Identitas pelaku;
    2. Bentuk kekerasan seksual;
    3. Pendampingan korban dan/atau saksi;
    4. Perlindungan korban dan/atau saksi.
  3. Dalam hal tidak terbukti adanya kekerasan seksual, kesimpulan paling sedikit memuat uraian:
    1. Identitas terlapor;
    2. Dugaan kekerasan seksual;
    3. Ringkasan pemeriksaan; dan
    4. Pernyataan tidak terbukti adanya kekerasan seksual.
  4. Rekomendasi dalam hal terbukti adanya kekerasan seksual, paling sedikit memuat usulan:
  5. Pemulihan korban;
  6. Sanksi kepada pelaku; dan
  7. Tindakan pencegahan keberulangan.
  8. Dalam hal tidak terbukti adanya kekerasan seksual, Satuan Tugas merekomendasikan pemulihan nama baik Terlapor.
  9. Rekomendasi ditetapkan dengan Keputusan Pemimpin Perguruan Tinggi.
  10. Tahapan yang dapat dilakukan:
  11. Satuan Tugas mempersiapakn pertemuan dengan pihak-pihak terkait/berkepentingan mendiskusikan rencana tindak lanjut.
  12. Satuan Tugas memberikan saran/masukan kepada Pemimpin Perguruan Tinggi mengenai rencana tindak lanjut yang akan dilakukan oleh pelaku maupunn korban dan berkomitmen untuk melaksanakan rencana tindak lanjut yang disepakati.
  13. Rencana dan tindak lanjut dituangkan dalam bentuk laporan tertulis.

SOP PENGENAAN SANKSI ADMINISTRATIF

  1. Pengenaan sanksi administratif dilakukan dalam hal pelaku terbukti melakukan kekerasan seksual.
  2. Pengenaan sanksi administratif ditetapkan dengan keputusan Pemimpin Perguruan Tinggi berdasarkan rekomendasi Satuan Tugas.
  3. Pengenaan sanksi administratif terdiri atas:
    1. Sanksi administratif ringan berupa peringatan tertulis atau pernyataan permohonan maaf secara tertulis yang dipublikasikan di internal kampus atau media massa; atau sanksi lain yang bersifat edukatif;
    2. Sanski administratif sedang berupa pemberhentian sementara dari jabatan tanpa memperoleh hak jabatan atau pengurangan hak sebagai Mahasiswa (penundaan mengikuti perkuliahan, pencabutan beasiswa, pengurangan hak lain);
    3. Sanksi administratif berat berupa pemberhentian tetap sebagai Mahasiswa, pemberhentian tetap dari jabatan sebagai Dosen, Tenaga Kependidikan, atau Warga Kampus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dari Perguruan Tinggi yang bersangkutan.
  4. Setelah menyelesaikan sanksi administratif ringan dan sedang, pelaku wajib mengikuti program edukatif seperti konseling pada lembaga yang ditunjuk oleh Satuan Tugas.
  5. Pembiayaan program konseling dibebankan pada pelaku.
  6. Laporan hasil program konseling sebagai dasar Pemimpin Perguruan Tinggi untuk menerbitkan surat keterangan bahwa pelaku telah melaksanakan sanksi yang dikenakan.
  7. Penjatuhan sanksi dilakukan secara proporsional dan berkeadilan sesuai rekomendasi Satuan Tugas.
  8. Pemimpin Perguruan Tinggi dapat memberikan sanksi administratif lebih berat dari sanksi yang direkomendasikan oleh Satuan Tugas.
  9. Pengenaan sanksi administratif lebih berat dapat diberlakukan dengan mempertimbangkan:
  10. Korban merupakan orang dengan disabilitas;
  11. Dampak kekerasan seksual yang dialami korban;
  12. Terlapor atau pelaku merupakan anggota Satuan Tugas, kepala/ketua program studi atau ketua jurusan.

SOP INVESTIGASI DAN PENDAMPINGAN

  1. Satuan Tugas memfasilitasi pemulihan terhadap korban
  2. Bentuk fasilitasi pemulihan berupa:
    1. Pelaksanaan pemulihan korban selama jangka waktu yang sudah ditetapkan oleh Pemimpin Perguruan Tinggi;
    2. Kerjasama dengan pihak terkait dalam pemulihan korban;pemberitahuan ke pihak terkait Perguruan Tinggi bahwa : (a) selama masa pemulihan bagi korban yang berstatus sebagai mahasiswa tidak mengurangi masa studi atau tidak dianggap cuti studi; (b) selama masa pemulihan, korban yang berstatus sebagai Dosen atau Tenaga Kependidikan memperoleh hak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dann/atau (c) korban yang berstatus sebagai Mahasiswa yang mengalami ketertinggalan akademik, memperoleh hak untuk mendapatkan bimbingan akademik tambahan dari dosen; dan
    3. Pemantauan proses pemulihan korban dan perkembangan kondisi korban yang dilakukan melalui koordinasi dengan penyedia layanan pemulihan korban.
  3. Pemberian fasilitasi pemulihan korban dilakukan dengan persetujuan korban.
  4. Dalam hal Terlapor tidak terbukti melakukan kekerasan seksual, Satuan Tugas memberikan rekomendasi kepada Pemimpin Perguruan Tinggi untuk pemulihan nama baik Terlapor.
  5. Pemulihan nama baik Terlapor ditetapkan dengan keputusan Pemimpin Perguruan Tinggi.
  6. Pendampingan yang dapat dilakuan adalah sebagai berikut:
    1. Pendampingan diberikan kepada korban atau saksi yang berstatus sebagai Mahasiswa, Dosen, Tenaga Kependidikan, dan Warga Kampus.
    2. Pendampingan yang akan diberikan berupa:
  • Konseling medis;
  • Konseling hukum;
  • Konseling psikologis;
  • Bimbingan sosial dan rohani.
    1. Dalm hal korban atau saksi merupakan penyandang disabilitas, pendampingan dilakukan dengan memperhatikan kebutuhan penyandang disabilitas.
    2. Pendampingan dilakukan berdasarkan persetujuan korban atau saksi.
    3. Jika tidak memungkinkan bagi korban untuk memberikan persetujuan, persetujuan dapat diberikan oleh orang tua/wali korban atau saksi.