01 September 2024-Istihadhah dalam pandangan Islam merujuk pada darah yang keluar dari kemaluan wanita di luar kebiasaan menstruasi (haid) atau di luar waktu haid, serta bukan disebabkan oleh kelahiran. Istihadhah dianggap sebagai kondisi yang tidak menentu dan tidak memiliki batas waktu tertentu. Hal ini berarti bahwa wanita yang mengalami istihadhah tetap diharuskan untuk melaksanakan ibadah seperti salat dan puasa, karena darah istihadhah tidak termasuk dalam kategori darah haid atau nifas yang menghalangi ibadah tersebut.
Darah istihadah (bahasa Arab: استحاضة, translit. istihaadhoh) adalah darah yang keluar dari kemaluan wanita di luar kebiasaan bulannya (haid) atau di luar waktu haid, serta bukan disebabkan karena melahirkan. Pada umumnya, wanita mengalami haid selama 6 – 8 hari dan paling lama 15 hari.
Seorang wanita yang mengalami istihadhah dilarang meninggalkan ibadahnya, seperti salat, puasa dan ibadah lainnya.
Secara istilah, ada beberapa definisi di kalangan ulama. Namun, mungkin bisa disimpulkan sebagai berikut: Istihadhah adalah darah yang berasal dari urat yang pecah/putus dan keluarnya bukan pada masa haid atau nifas (kebanyakan), tapi terkadang juga keluar pada masa adat haid dan saat nifas. Karena dia adalah darah berupa penyakit, maka dia tidak akan berhenti mengalir sampai wanita itu sembuh darinya. Karena itulah, darah istihadhah ini kadang tidak pernah berhenti keluar sama sekali dan kadang berhentinya hanya sehari atau dua hari dalam sebulan.
Ciri-ciri Darah Istihadoh
Berbeda dengan darah haid, darah istihadhah mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: Warnanya merah, baunya seperti darah biasa, berasal dari urat yang pecah/putus dan ketika keluar langsung mengental. Ada perbedaan lain dari sifat darah haid bila dibandingkan dengan darah istihadlah:
1. Perbedaan warna. Darah haid umumnya hitam sedangkan darah istihadlah umumnya merah segar.
2. Kelunakan dan kerasnya. Darah haid sifatnya keras sedangkan istihadlah lunak.
3. Kekentalannya. Darah haid kental sedangkan darah istihadlah sebaliknya.
4. Aromanya. Darah haid beraroma tidak sedap/busuk.
Masa Berlangsung
Imam empat mazhab berbeda pendapat mengenai perempuan yang mengeluarkan darah istihadhah. Menurut Mazhab Hanafi, perempuan dengan masa haid yang teratur harus mengikuti kebiasaan haidnya untuk menentukan masa awal istihadhah. Pada perempuan yang tidak memiliki kebiasaan haid yang teratur, maka perbedaan darah tidak dijadikan sebagai acuan. Pedoman yang digunakan adalah masa haid tersingkat.
Mazhab maliki menetapkan bahwa masa awal istihadhah harus berdasarkan kepada perbedaan darah dan bukan berdasarkan kebiasaan haid. Ini berlaku bagi perempuan yang mampu membedakan antara darah haid dan darah istihadhah. Bagi yang tidak bisa, maka hukum haid dianggap tidak terjadi dan ia dapat mengerjakan salat pada bulan kedua dan bulan ketiga sejak munculnya darah. Pada bulan pertama, lebih banyak pendapat dari pengikut Mazhab Maliki yang memilih masa haid terlama sebagai acuannya.
Mazhab syafi’i menetapkan pembedaan darah istihadhah dan darah haid sebagai acuan jika perempuan memiliki kebiasaan haid dan mampu membedakan darah haid dengan darah istihadhah. Jika tidak mampu membedakan, maka kebiasaan haid dijadikan sebagai pedoman. Jika perempuan tidak memiliki kebiasaan haid dan tidak mampu membedakan kedua jenis darah tersebut, maka hukumnya sama seperti dengan perempuan yang mengalami masa awal haid.
Mazhab hambali berpendapat bahwa perempuan yang memiliki kebiasaan haid dan mampu membedakan kedua jenis darah tersebut, maka perbedaan darah yang dijadikan sebagai pedoman. Pada kondisi tidak memiliki kebiasaan haid dan tidak mampu membedakan jenis darah, Mazhab Hambali memiliki dua pendapat. Pendapat pertama ialah menjadikan masa haid tersingkat sebagai pedoman. Sedangkan pendapat kedua adalah menjadikan kebiasaan haid dari perempuan lain sebagai pedoman. Kebiasaan ini umumnya antara enam sampai tujuh hari.
Hukum Dan Praktek Istihadoh
1. Salat dan Puasa: Wanita yang mengalami istihadhah diwajibkan untuk melaksanakan salat lima waktu dan puasa di bulan Ramadan. Ini karena istihadhah tidak menghalangi kewajiban ibadah tersebut. Dalam sebuah hadits, Nabi Muhammad SAW menjelaskan kepada Fatimah binti Abi Hubaisy yang mengalami istihadhah bahwa ia harus melanjutkan ibadahnya setelah masa haidnya yang normal.
2. Tawaf dan Sa’i: Wanita yang mengalami istihadhah juga diperbolehkan untuk melakukan tawaf dan sa’i setelah membersihkan diri dan berwudhu, karena darah ini tidak menyebabkan hadats besar.
3. Menyentuh Mushaf: Wanita yang mengalami istihadhah diperbolehkan untuk menyentuh mushaf Al-Qur’an setelah berwudhu, sesuai dengan pendapat mayoritas ulama.
Tata Cara Membersihkannya Agar tetap bisa Melaksanakan Kewajiban Kita Kepada Sang Pencipta
Bagi wanita yang mengalami istihadhah, berikut adalah cara sholat yang benar dan sah menurut pandangan Islam:
1. Mencuci Farji: Sebelum mengerjakan sholat, wanita yang mengalami istihadhah harus mencuci kemaluannya untuk membersihkan darah yang keluar.
2. Menutup Farji: Setelah mencuci, wanita harus menutup kemaluannya dengan kapas, pembalut, atau sejenisnya untuk mencegah darah keluar selama sholat.
3. Berwudhu: Wanita yang mengalami istihadhah diwajibkan untuk berwudhu setiap kali akan melaksanakan sholat. Jika darah masih keluar, wudhu tetap dilakukan sebelum sholat.
4. Segera Sholat: Wanita yang mengalami istihadhah disarankan untuk segera melaksanakan sholat dan tidak menunda-nunda, agar ibadahnya tetap sah.
5. Sholat seperti Biasa: Sholat dilakukan seperti biasa, tanpa ada pengurangan dalam rukun dan syarat sholat.
6. Mengulangi Wudhu: Jika darah keluar kembali setelah berwudhu, wanita tersebut tetap harus berwudhu lagi sebelum melaksanakan sholat berikutnya.
kesimpulan mengenai istihadhah dalam pandangan Islam:
Istihadhah adalah darah yang keluar dari kemaluan wanita di luar kebiasaan menstruasi (haid) dan bukan disebabkan oleh kelahiran. Istihadhah dianggap sebagai kondisi yang tidak menentu dan dapat berlangsung tanpa batas waktu tertentu, sehingga wanita yang mengalaminya tetap diwajibkan untuk melaksanakan ibadah seperti sholat dan puasa.
Darah istihadhah memiliki ciri-ciri yang berbeda dari darah haid, seperti warna merah segar, kekentalan yang lebih rendah, dan aroma yang tidak busuk. Hal ini memudahkan wanita untuk membedakan antara darah haid dan istihadhah.
Terdapat perbedaan pendapat di antara empat mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali) mengenai cara menentukan masa awal istihadhah dan bagaimana wanita yang mengalaminya harus bersikap. Pada umumnya, mazhab-mazhab ini memberikan pedoman berdasarkan kemampuan wanita untuk membedakan antara darah haid dan istihadhah.
Wanita yang mengalami istihadhah diwajibkan untuk melaksanakan salat dan puasa, serta diperbolehkan melakukan tawaf dan menyentuh mushaf Al-Qur’an setelah berwudhu. Mereka harus menjaga kebersihan dan mengikuti tata cara yang benar untuk memastikan ibadah tetap sah.
Wanita yang mengalami istihadhah harus mencuci kemaluannya, menutupnya untuk mencegah darah keluar, berwudhu sebelum sholat, dan melaksanakan sholat seperti biasa. Jika darah keluar kembali setelah berwudhu, mereka harus berwudhu lagi sebelum melaksanakan sholat berikutnya.
Secara keseluruhan, istihadhah adalah kondisi yang harus dipahami dengan baik oleh wanita Muslim agar mereka dapat melaksanakan kewajiban ibadah mereka dengan benar meskipun mengalami keluarnya darah yang tidak normal.
Penulis
Rapika Dewi (22023055)-Lingkar Pena